Sabtu, 05 Juni 2010

HUMANIS

ANGGOTA POLRI DALAM MELAKSANAKAN TUGAS
HARUS MENGEDEPANKAN PROFESI
DARIPADA HARGA DIRI
Oleh AKP I GUSTI KETUT WIBAWA
Kanit Satwa Dit Samapta Polda Lampung



Perubahan kultur Polri yang bersumber dari pendidikan meliter menjadi Polisi sipil memang sulit untuk dilakukan perubahan, dari penampilan yang serem, angker menakutkan menjadi Humanis.
Pada prinsipnya manusia dilahirkan kedunia sudah mempunyai harga diri dan Hak Asazi Manusia yang harus dilindungi, namun dengan kesepakatan-kesepakatan berupa produk-produk undang-undang sehingga Hak Azasi manusia dapat diabaikan apabila kesepakatan dilanggar namun bukan hanya masalah pengabaian hamnya yang utama melainkan bagaimana manusia yang melanggar kesepakatan (dibaca melanggar Hukum) mandapatkan hak berupa kepastian Hukum.

MAMPUKAH POLRI BERPRILAKU HUMANIS ?

Apabila personil Polri dalam melaksanakan tugas mengedepankan Profesi dari pada harga diri yakin bisa , Negara kita adalah negara Demokrasi dan menjungjung tinggi supermasi Hukum sehingga segala perbuatan tindakan prilaku telah diatur oleh aturan Hukum apabila ada pelanggaran hukum seharusnya dilakukan tindakan dengan persedur hukum. Dengan maksud Polri sebagai penegak Hukum menegakkan Hukum tidak dengan cara melanggar Hukum banyak contoh yang terjadi, pelanggaran lalu lintas pengendara tidak menggunakan helm anggota polri mengejar dengan emosi setelah tertangkap lalu Polri memukul,memaki. Melakukan penangkapan terhadap pelaku pencurian dalam melakukan pemeriksaan ( proses sidik) mengorek pengakuan dengan cara menganiaya sehingga membuat hilangnya nyawa tersangka. Tersangka melakukan pencurian Polri melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang lain karena merasa tidak dihargai sehingga terjadi menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum yang lebih besar, pelanggaran dibalas dengan pidana hal itulah yang perlu ditinggalkan oleh anggota Polri dalam melayani masyarakat dan penegakan hukum.
Banyak kebijakan polri yanga menuntut agar anggota polri dalam mengaplikasikannya dengan prilaku yang Humanis, dari Standar Kinerja, Standar Pelayanan, Pelayanan Prima, Quick Quins, 9 komitmen moral, Kontrak kerja, khusus Samapta SIMPATI :
1. S Enyum sapa salam yang dilakukan dengan tulus ikhlas dan sopan santun
dalam melindungi, mengayomi, melayani masyarakat.
2. I Novatif, inspiratif dan ikhlas setiap melaksanakan tugas.
3. M ampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat secara maksimal.
4. P rofesional, proporsional, prosedural dan proaktif dalam setiap melaksanakan tugas,
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat.

5. A komodatif, aspiratif, antusias, dalam menerima masukan maupun keinginan masyarakat .
6. T egas, transparan, tanggungjawab, dan tuntas dalam melaksanakan Tugas.
7. I dial, idola dan menjadi harafan masyarakat dalam melaksanakan tugas pelayanan.
8. K omitmen, konsisten dan kontinyu, dalam memberikan perlindungan, pengayom, pelayanan
kepada masyarakat.


Kalau kita boleh dan mau bercermin kepada seorang pembantu rumah tangga, yang digaji oleh bosnya (majikannya) dimana dengan rasa ikhlas melakukan pekerjaan, menyapu, mencuci, menggosok, ngepel lantai, membuatkan minuman, menyiapkan bacaan koran, mengasuh anak, memasak, membersihkan kotoran anak majikannya, yang kadang perintah dari majikan bertubi-tubi kalau dipandang sepertinya tidak ada kemanusiaan namun karena pembantu rumah tangga tadi tau profesinya tidak pernah menonjolkan harga diri sehingga mau melakukan pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya tanpa melawan sedikitpun dengan majikan tetap melakukan pelayanan dengan HUMANIS.
Siapakah majikan Polisi ? tentunya masyarakat karena Polisi digaji dari hasil pembayaran pajak masyarakat sehingga dituntut untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum dengan cara melanggar hukum .

Apabila Polri merubah kultur dari sikap meliter menjadi Polisi sipil bertindak Profesional (Humanis) majikan Polri (masyarakat) menjanjikan kepala Polri berupa Remoneration (upah/gaji) tambahan yang nantinya polri dalam melayani, mengayomi, melindungi, penegakan hukum tidak lagi membebani masayarakat .yang sebelum adanya reformasi Polri gaji merupakan dana oprasional kerja bukan upah/gaji kalau kita jujur ?

Polri dimasa lalu sering berbuat Inovasi-inovasi baik dalam pengadaan, perawatan pemeliharaan, itu ’ MENGADA KEPADA YANG TIADA ” mengadakan sesuatu yang mendukung tugas kepolisian dari ”kemitraan” dengan masyarakat dari yang tidak ada menjadi ada sehingga dapat mempertahankan, bangunan kantor, barang Iventaris yang serba terbatas dan pimpinan polri pernah memberikan pernyataan bahwa majikan polri (masyarakat) banyak berutang kepada Polri, dari Pulsa, Kendaraan pribadi milik anggota polri digunakan untuk oprasional tugas Polri dengan ikhlas yang tidak disadari seyogyanya majikan (baca masyarakat/pemerintah) seharusnya menyiapkan. ” dibandingkan instansi lain ” yang semuanya terpenuhi oleh masyarakat (baca Pemda ) dan sebaliknya apabila Polri tidak ’ MENGADA KEPADA YANG TIADA ” mampukah majikan ”masyarakat/Pemerintah” merawat, menjaga dan mengadakan Iventaris Polri secara maksimal sesuai dengan tuntutan jaman terutama yang berada di kewilayahan (pedalaman Indonesia) contoh polres metro terdiri dari 5 Polsek sampai saat ini belum memiliki Kendaran roda 4 untuk patroli ?. namun tugas tetap berjalan. Sesuai dengan Program yang telah ditentukan.

Dengan demikian mari kita rubah kultur kita dari militer, bengis serem, angker menjadi HUMANIS secara bertahap agar pemerintah/masyarakat menepati janjinya memberikan Remoneration( Remunerasi) kepada Polri agar polri kedepan lebih baik kesejahtraannya .memang tolak ukur kinerja Polri bukan hanya ditentukan oleh besarnya Gajih/upah saja ( memang semboyan perang bagaimana bisa menenang kalau Logistik Peluru tidak ada ) walaupun bisa dengan bambu runcing, tentunya juga di imbangi dengan perubahan prilaku yang tadinya menyimpang sekarang menjadi prilaku yang bener-bener menjadi saritauladan terhadap masyarakat , hindari memberikan penilaian Negatip terhadap sesama Anggota Polri kalau prilaku Anggota Polri hanya beda-beda tipis mungkin yang bepenilaian negatif terhadap orang lain mungkin lebih besar kesalahan yang diperbuatnya yang cendrung muncul penilaian masyarakat di tubuh Polri tidak Solid apalagi sekarang ini dengan adanya kemajuan terhknologi, dengan adanya keterbukaan ( bukan tranparan atau samar-samar) sehingga anggota Polri dapat melaporkan baik itu ada unsur kebenarannya maupun pitnah memalai SMS kemana saja tentang tidakan aggota Polri yang menyimpang yang dapat mengganggu kinerja kekompakan diantara anggota Polri dan masih adanya indikasi jeruk makan jeruk di tubuh Polri yang juga membuat tidak ada keseimbangan antar sesama Anggota Polri .
Budaya Seorang pemimpin yang selalu marah, asal perintah, membahas hal-hal yang tidak mendidik juga menimbulkan Sikap yang sulit untuk manjadikan sikap anggota Polri yang Umanis, sekarang bagaimana seorang pemimpin dapat memberikan pencerahan, saritauladan kepada anggota memberikan Ilmu, baik itu masalah penguasaan tugas pokok dan Undang-undang yang menjadi dasar Hukum dalam melaksanakan tugas agar Anggota Polri semakin dewasa dan menguasai tugas dan kewajibannya agar tercapai hasil yang Profesional dan Proporsional, bukan sebaliknya kalau sebagai Perwira pengambil apel yang dibahas, sudah 7 kali jadi Kapolsek, kemana Kok tidak apel, Dipolda begini, di Polres begitu malah sering terbalik yang rajin kena marah yang males jojong ( tidak apa-apa) karena apelnya sudah selesai tidak ditindak lanjuti dengan pengecekan, penulis sudah 23 tahun dinas di Kepolisian belum pernah kalau melaksanakan apel ditanya apa bunyi pasal 1 dalam KUHP, pasal berapa kalau Polisi melakukan Penggledahan pasal Berapa yang meyebutkan Istilah-istilah dalam KUHP, apa itu kunci palsu, apa itu memanjat, apa itu yang dikatakan pegawai Ngeri, Apa itu luka berat, apa itu kekerasan, apa itu Nahkoda, apa itu pelayaran dan lain- lainnya sesuai Pasal 86 s/d pasal 103 KUHP Buku I .
Masalah komonikasi antar Anggota Polri juga mengalami kesulitan dengan adanya latar belakang pendidikan yang berbeda, ada yang latar belakang pendidikan tamatan , SMP,SMA, S1, Secata, Secaba, Akpol, Secapa, Setukpa, PSS, Sepa, Selapa, Sespim, Lemhanas sehingga dalam menelaah perintah tidak sama penapsirannya diantara masing-masing latar belakang Ilmu yang dimiliki, yang dikatakan komonikasi yang baik adalah bagaimana seorang Komonikator memberikan pesan kepada Komonikan agar komonikan mengerti pesan yang disampaikan oleh Komonikator supaya pesan itu dapat dilaksanakan, contoh adanya bahasa-bahasa yang sulit dimengerti oleh Anggota, dulu FKK menjadi potensi gangguan, PH, menjadi ambang Gangguan, AF ( gangguan nyata) , Quick Quins (Percepatan Pelayanan/Program) , Panersif Boluding (menjalin kemitraan dengan masyarakat) dan masih banyak istilah-istiah yang lain, kalau tidak diterjemahkan sehingga orang-orang tertentu saja yang mengerti tidak sampai ketingkat bawah sedangkan suatu organisasi yang baik adalah tercapainya tujuan dengan baik sesuai dengan target/Program dan juga seorang kepemimpinan yang baik bagaimana caranya menggerakan seatu klompok untuk mencapai suatu tujuan,-
Demikian tulisan ini disampaikan kiranya menambah wawasan kita semuta penulis terutama untuk melakukan hal-hal yang lebuh baik sekarang dan kedepan untuk kemajuan Institusi Kepolisian kiranya ada kesalahan, kekurangan dalam penyajian juga menyinggung perasaan kiranya dimahafkan .Salam Samapta, Hebat, Polisi Profesional, Modern, Bermartabat, Umanis,.



Bandar Lampung, 4 Maret 2010

igkwibawa@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar